Kita kerap kali lupa bahwa hidup ini begitu sementara. Selalu saja kita congkak, merasa benar sendiri, dan tak jarang menguasai milik saudara sendiri secara zalim. Ukuran kebenaran dan keberhasilan hanya sebatas yang membuat kita senang. Jadilah kita orang yang hanya mengejar dan mengumpulkan dunia dan isinya. Pada sangka kita harta itu kekal dan membahagiakan, kekuasaan itu membuat kita dimuliakan, dan kebesaran itu membuat kita tersanjung. Padahal kita membutuhkan sedikit saja dari yang disediakan dunia. Benar kiranya yang dikatakan Socrates, “alangkah banyaknya yang tidak saya butuhkan di dunia ini”.
Entah, seperti apa masa depan manusia bila ukuran kebahagiaan dan kebenaran adalah dunia. Dan anehnya, mengapa puasa belum juga membuahkan kesadaran keruhanian? Bukankah puasa itu ibadah personal yang bermakna spiritual; sebuah hubungan kepada Allah yang dibangun secara khusus untuk menggapai kebenaran dan kebahagiaan hakiki. Tetapi kenapa kita sering kali membohongi Allah dengan pura-pura mencinta-Nya padahal selama ini kita hanya mencintai dunia dan diri kita sendiri? Tidakkah kita sadar bahwa tujuan tertinggi puasa, seperti yang dikehendaki Allah, itu ada tiga: agar kita jadi bertakwa, supaya kita selalu bersyukur, dan mudah-mudahan kita selalu mendapat petunjuk?
Agar puasa kita mampu mengikis dunia dari hati kita dan menjadikan kita pribadi yang merasa cukup dengan dunia, penting kiranya kita perhatikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Rasulullah Saw bersabda: “Wahai Abu Hurairah, maukah engkau aku tunjukkan tentang dunia ini?” Abu Hurairah menjawab: “Mau, wahai Rasulullah”. Sejurus, Rasulullah memegang tanganku dan pergi mengajakku. Tepat, beliau berhenti di suatu tempat yang penuh dengan kotoran. Bukan hanya itu, tengkorak manusia dan tulang-belulang berserakan di situ. Bahkan ada juga kain-kain yang berlumur kotoran.
Lalu Rasulullah bersabda kepadaku, “Wahai Abu Hurairah, seperti engkau lihat sendiri, tengkorak manusia ini sama seperti kepala-kepala kalian. Kepala-kepala ini dipenuhi dengan nafsu dan angan-angan untuk mengumpulkan dunia dan menguasai seluruh isinya. Tetapi kini, seperti engkau saksikan, tulang-belulang mereka berserakan, pun jasad mereka hancur berantakan. Dan kain-kain itu adalah pakaian yang mereka gunakan semasa di dunia sebagai perhiasan dan kebanggaan. Namun sekarang, kain-kain itu telah dihembuskan angin dan berlumur dengan kotoran ini . Tulang-tulang ini dahulu mereka gunakan dengan sesuka hati untuk mengelilingi dunia dan segala penjurunya.
Sedangkan tumpukan kotoran ini adalah makanan lezat semasa di dunia. Mereka mendapatkannya dengan beragam cara. Dengan cara yang tidak benar pun mereka lakukan yang penting terlaksana keinginan. Sebagian mereka merebutnya dari sebagian yang lain, maka kini mereka dilemparkan ke dalam kebusukan yang luar biasa, sehingga tak ada seorang pun yang mau berdekat-dekatan dengannya, karena baunya yang begitu menyengat dan membuat dada sesak”.
Secara sangat santun, Allah menyuruh kita untuk menahan lapar dan dahaga dan melakukan hubungan seksual di siang hari tak lain agar kita bisa kembali menjadi manusia suci. Suci dari segala macam angan-angan yang bertabur kemegahan, pesta pora, dan memperturuti nafsu angkara murka. Lapar saat berpuasa bisa bermakna pembakaran kotoran, menahan hasyrat seksual hakikatnya menjadi pembeda antara hewan dan manusia. Lapar, kata Sang Hujjatul Islam al-Ghazali, dapat menjernihkan hati dan pikiran. Bahkan lapar, kata Rasulullah SAW, dapat mempertajam hati dan pikiran. Saudaraku, puasa dengan begitu bisa membuat hati kita jernih dan pikiran kita tajam. Mungkinkah, hati yang jernih dan pikiran yang tajam bisa terus menerus membuat kita jadi cinta dunia?
Kiranya, di bulan suci ini, mari kita perbersih diri. Kalau kita cermati, sabda Sang Nabi di atas, betapa kita telah pergi jauh meninggalkan kebenaran dan kesucian. Pada sangka kita, diri kita selalu suci padahal begitu kotor dan berlumur dosa. Sungguh, Maha Benar Engkau Ya Allah: “Janganlah kamu anggap dirimu itu suci padahal hanya Allah yang paling tahu siapa (yang sebenarnya) bertakwa” (QS. al-Najm/53: 32).
Mereka yang berhasil puasa Ramadhan adalah mereka yang bisa mensucikan diirnya dari mencintai dunia dan takut akan kematian. Memilih akhirat dari dunia adalah bukti bahwa kita benar-benar mau menjadi pribadi yang bersih diri: lahir-batin. Allah berfirman: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaan (kebaikan dan keburukan). Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. Mudah-mudahan Ramadhan tahun ini menjadi “titik hidayah” bagi kita agar bisa mengikis cinta dunia di hati kita. Aamin.***