Dunia bertanya ketika kita akan meninggalkan dia, apa yang kamu mau ambil dariku? Dan dia langsung menjawab sendiri, tak ada yang bisa kau ambil, tak ada yang bisa kau bawa, kecuali dua hal; tanah untuk kuburanmu dan kain kafan!
Dunia dikejar, harta dikejar,akhirnya tidak ada selesainya. Kebutuhan, apalagi keinginan, bila terus dituruti tidak akan ada habisnya. Terpenuhi yang ini, muncul yang lain. Terkejar keinginan yang satu, kepingin lagi mengejar yang lain. Begitu seterusnya, hingga kita sendiri tidak bisa menikmati apa yang kita dulu berusaha mati-matian mengejarnya. Berenang tanpa tepian.
Di suatu tempat, tersebutlah Pak Dahlan yang sedang terbaring lemah. Dunia yang dia kumpulkan susah payah, hanya bisa memberikan tempat tidur seukuran dia saja. Tidak bisa dia gapai ketika dia sakit. Tidak ada yang bisa ia nikmati ketika ia tidak sehat seperti sekarang ini. Dia memiliki kulkas empat pintu, tapi satu pun tidak ada yang terbuka untuknya.
Di meja makan rumahnya terhidang paling sedikit 3 macam buah-buahan, nasi lengkap dengan . tujuh macam lauk, mulai dari tempe goreng panas, tahu cina goreng, sayur asem, gabus kering, ayam goreng, otak sapi yang dipepes, sambal goreng, plus lalap-lalapan. Semuanya menggoda bila kita sehat, dan semuanya siap santap. Tapi apa yang Pak Dahlan makan? Tidak ada, hanya bubur. Itu pun bubur yang disaring terlebih dahulu. Bahkan kini, ketika ia masuk rumah sakit, hanya cairan infus yang bisa masuk ke tubuhnya.
Pak Dahlan juga membangun rumah mewah super indah, dengan keramik import kamar mandi sekelas hotel, perabotan mewah nan mahal kiriman kolega dari Singapur, Belum lagi deretan mobilnya, mulai dari kelas keluaran hingga merk-merk keluaran Eropa. Tapi ya karena sedang tidak bisa bangun, sepeda motor Honda milik Parmin pembantunya pun tak bisa ia naiki.
Dunia yang ia kejar, harta yang ia kumpulkan tak mau dekat-dekat dengan dia yang sedang berbadan sakit. Sakiiit, hati Pak Dahlan. Di dunia saja mereka tidak mau membantu, apalagi kelak di akhirat!
Pada cerita dunia yang lain, ada Pak Jacoeb yang sedang termangu di ruangan sempit. Terbayang jabatannya yang sudah melayang diisi orang lain. Terbayang kemewahannya yang ‘susah payah’ ia garap. Terbayang wajah anak dan istrinya. Semuanya tinggal bayangan, karena semuanya tidak ada di sekitarnya. la sedang menjalani vonis hukuman penjara dunia. 2 tahun penjara dipotong masa tahanan 1 bulan.
Pak Jacoeb yang gagah ketika menjabat, Pak Jacoeb yang jago ‘meng-create’ proyek, kini bagaikan gedebong pisang; bernyawa tapi tak berjiwa, berjiwa tapi tak bertenaga, dan tidur beralaskan kasur tipis seadanya.
Ah, dunia yang dulu sangat ia kejar, sangat ia dambakan, sehingga ia berani berbuat nekat untuk menjamahnya, kini malah tak mau dekat dengan dia. Dunia, yang dulu begitu ia dambakan, jabatan dan posisi yang dulu begitu ia agung-agungkan, kini mencampakkannya begitu saja, dan maiah memberikan kehinaan.
Bila Pak Dahlan dijauhi dunia lantaran badannya yang sakit, Pak jacoeb dijauhi dunia lantaran hatinya yang sakit.
Cerita Pak Dahlan dan Pak Jacoeb di atas mengajarkan kita pada beberapa hal, yang pertama adalah bahwa dunia tidak usah didewa-dewakan begitu rupa, sehingga kita lupa bahwa kita masih manusia, dan akan kembali kepada Sang Pencipta. Yang kedua, dunia yang kita kejar, dunia yang kita buru, tidak akan banyak berbuat bagi kita. Boro-boro di akhirat, di dunia pun tidak bisa ia berbuat banyak bagi kita. Terutama bila badan dan hati kita sakit. Yang ketiga, mengingatkan kita akan ketidakabadian dan kefanaan harta. Bahkan yang ketiga ini bisa terjadi justru ketika dunia sedang tergenggam; tidak menunggu kita meninggal.
Jadi untuk apa kita berbuat total untuk dunia. Biasa sajalah. Dunia itu tidak mau direpotkan oleh kita. Dunia punya sifat cenderung susah diatur, apalagi oleh orang-orang pelit dan serakah. Dunia mempunyai kecenderungan sulit dikendalikan, apalagi oleh orang-orang yang zalim terhadap Tuhannya. Maka untuk mereka yang miskin tidak usah bersedih, dan untuk mereka yang kaya atau yang berkecukupan tidak usah sombong. Semuanya sama. Bila tidak kita yang meninggalkan dunia, maka pilihan lainnya adalah dunia yang meninggalkan kita. Salah satu dari keduanya pasti akan terjadi di dalam kehidupan kita sebagai manusia.
Terakhir, ketika manusia berhenti bernafas, dunia hanya memberikan tanah untuk pekuburan, batu nisan untuk menandai pekuburan, dan kain kafan untuk membungkus badan.
Hanya itu hadiah kenang-kenangan dari dunia, karena dunia diciptakan dalam kondisi sifat yang pelit. Dan dunia dipastikan tidak akan mengurusi kita atau menaruh perhatian kepada kita kalau sudah keputusan dari Sang Pemberi Keputusan, bahwa dia yang meninggalkan kita atau kita yang meninggalkan dia. Dunia ditakdirkan hanya mengurus kepentingan dirinya saja;
Dunia diibaratkan sebuah kebun, yang disiram air hujan kemudian lama-lama kering dan hancur. Sedangkan Allah, Pemiliknya, tak pernah hancur.
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia “mi hanyalah permainan, kelalaian, perhiasan, dan berbangga-banggn antara kamu dan berlomba banyak harta dan anak. Seperti air hujan yang tananiannya
mengagumkan petani, kemudian tanamannya menjadi kering dan kamu lihat warnanya mengering, kemudian
hancur. dan di akhirat ada azab Allah yang kcras dan ada pula ampunan dari Allah dan keridhaan-Nya. Dan tiadalah kehidupan dunia melainkan kesenangan yang menipu.” (QS. al Hadid: 20).
Ada dua kisah yang menyadarkan diri untuk tidak menjadikan dunia segalanya. Bahkan kalau bisa, dan harus bisa, mulai menjadikan dunia sebagai bekal akhirat. Bukan sekedar menjadi harta warisan yang menyakitkan.
Kisah pertama tentang seorang tua yang menangis.
Tersebutlah seorang tua yang kaya raya. la begitu kuatir dengan masa depan anaknya. Makanya ia banting tulang peras tenaga demi membahagiakan anak dan keluarganya. Suatu hari ia meninggal. Didapatilah olehnya sebuah kebenaran, yaitu kekecewaan, bahwa keluarganya tidak mencintainya sebagaimana ia mencintai keluarganya. Dari dalam kubur sana, si orang tua diperlihatkan, bahwa kesedihan anak dan istrinya hanya sebatas 7 hari kematiannya. Setelah itu, tidak ada lagi perhatian untuknya. Dan bahkan, sepeninggalnya, anak keturunannya malah menjadi satu musuh bagi yang lainnya; berebut warisan, atau bermaksiat dengan harta warisannya.
Menangislah orang tua tersebut. Apalagi kini jelas juga baginya, bahwa tidak ada bagian dunia untuknya, di akhirat. Sebab tidak ada yang dibawa, sedang amalnya hanya sedikit.
Kisah kedua tentang seorang suami yang menangis.
Tersebutlah seorang lelaki yang kaya raya. la bangun kemegahan dunianya, hingga membuat mata orang lain silau dengan kilauan dunia yang digenggamnya. Dan orang kaya ini memiliki istri yang sangat cantik pula. Datanglah suatu ketika malaikat kematian, membawa keputusan kematian untuknya. Semua hartanya itu diwariskan istrinya. Hari berlalu berganti minggu. Minggu berlalu berganti bulan, hingga kemudian si wanita ini mengawini lelaki lain; punya suami baru. Dan dari alam kubur sana, si orang kaya yang sudah meninggal tadi menangis. Susah payah ia mencari harta, ternyata di kemudian hari hanya untuk diperuntukkan bagi lelaki yang saat ini menjadi suami baru istrinya.
Tentu saja tulisan ini tiada maksud membuat Anda alergi menjadi orang kaya. Bukan. Maksudnya sekedar memiliki kearifan dalam memandang dunia. Sayangi dunia dengan tidak meiupakan Pemiliknya. Sayangi dunia dengan tidak melalaikan Sang Pemberi. Dan sisakan sebahagian dunia untuk amal saleh di akhirat nanti. Salam, Yusuf mansur